Thursday , 28 March 2024
Employees of a foreign exchange trading company work under monitors displaying the exchange rates between the Japanese yen and the U.S. dollar (L top, back L) and the Japan's Nikkei average (L bottom), and the exchange rates between the yen against the Euro (back R) in Tokyo August 26, 2015. REUTERS/Yuya Shino

The Fed or PBOC or BOJ…

Reza Aswin  | 27 Agustus 2015

 

Tadi malam kami mengadakan sharing masalah Fundamental Forex di komunitas daerah Kemayoran Jakarta. Diskusi yang terjadi sangat menarik mengingat komunitas mulai memahami bahwa Faktor Fundamental mempunyai power dalam menggerakan market menjadi 1 arah/ trending. Diskusi ini semakin lama semakin seru sehingga tidak terasa diskusi baru berakhir menjelang tengah malam. Kita sepakat untuk sharing hari kamis minggu ke empat setiap bulannya.

Dalam pembahasan Fundamental yang paling menarik adalah arah market kedepannya mengingat The Fed, Peoples Bank of China dan Bank of Japan merupakan 3 bank sentral yang mempunyai kebijakan moneter yang sangat berbeda dan tentunya akan berpengaruh terhadap pergerakan market kedepannya.

  • Sejak dahulu pemerintah China memang sengaja melemahkan mata uangnya atau dengan kata lain ” tidak mengijinkan untuk menguat pada level yang seharusnya”. Sudah lama ini terjadi dan China menikmati pelemahan Yuan ini guna mendorong aktivitas perekonomian negaranya, tanpa mengikuti mekanisme pasar, atau lebih dikenal dengan fixed rate. Tenaga buruh yang murah dan operasional yang sangat kecil, membuat negara ini mempunyai prouct yang sangat murah di pasaran. Ketenagan China terganggu saat QE Effect dari USA, 6 tahun yang lalu mulai menyerang China dalam bentuk hilangnya pangsa pasar, karena perlambatan ekonomi di dunia, harga buruh yang mulai minta penyesuaian dan harga tanah untuk industri terus melambung, sehingg dapat dipastikan , ekonomi China melambat. Ini terlihat dari data data ekonomi yang terlihat turun secara signifikan seperti , Turunnya Neraca Perdagangan selama 2 bulan terakhir yang diikuti pula dengan data manufaktur serta inflasi yang ikut memburuk akhir akhir ini.  Penurunan yang signifikan harus diantisipasi oleh PBoC dengan cara mendevaluasi Yuan (karena menekan harga tanah dan upah buruh tidak mungkin) setelah itu pemotongan suku bunga ( menjadi 4,6%) dan menurunkan rasio persyaratan cadangan (RRR/ GWM) untuk menjaga perekonomian China tetap tumbuh. .  Ini merupakan pemicu dari market Sell Off saat PBoC melakukan kebijakan moneter disaat Equitas diserang wabah ” Free Fall”
  • The Fed yang sejak 7 tahun lalu tidak menaik suku bunganya, malahan memberikan program stimulus guna menaikan pertumbuhan ekonomi, memberikan lowongan pekerjaan agar dapat menaikan tingkat inflasi pada level yang diinginkan oleh kongres Amerika Serikat. Dampak pelemahan US Dollar saat itu tentu memberikan perbaikan pada ekonomi Amerika sekaligus memberikan beban bagi penguatan mata uang lain diseluruh dunia dan membuat perlambatan ekonomi Global. Saat pertumbuhan ekonomi Amerika dirasakan membaik dan inflasi sudah terlihat muncul maka sudah waktunya The Fed mulai melakukan ancang ancang untuk melakukan normalisasi di pasar. The Fed berencana melakukan normalisasi dibeberapa titik sebelum tahun 2015 berakhir, dan akan mulai dibahas pada bulan September. Crash di China membuat para analis mulai memprediksi bahwa The Fed akan menunda kenaikan suku bunga nya paling tidak di tahun 2016, tetapi pernyataan resmi Janet Yellen di bulan Juli tentang kenaikan suku bunga, adalah The Fed akan melakukan normalisasi di tahun ini.
  • Jepang dilanda deflasi selama 1 dekade sehingga pertumbuhan ekonomi negara tersebut terlihat sangat lambat atau lebih tepatnya stagnasi. Setelah Shinzo Abe dilantik menjadi perdana menteri Jepang pada tahun 2012 maka perubahan besar besaran di bidang perekonomian Jepang mulai dilakukan yang dikenal dengan  Abenomic , Tiga panah utama  (Kebijakan moneter yg agresif dgn target inflasi 2 %: QE dan Depresiasi yen  = Kebijakan Fiskal ekspansi dgn target Public spending 2% = Reformasi Struktural guna meningkatkan daya saing Jepang. Dengan adanya pergolakan saham di China maka tentu ini membuat tekanan pada export Jepang,  dan Kuroda mengatakan bahwa target harga yen sudah hampir mencapai target sehingga pelemahan yang terlalu jauh tidak diperlukan. Tetapi disisi  lain tentu kita sudah mengetahui bahwa penguatan Yen yang berlebihan akan kembali memicu perekonomian jepang kembali ke zona deflasi dan jika itu akan terjadi maka disinyalir BoJ akan melakukan Program Stimulus tanpa batas. Permasalahannya adalah :
Baca Juga :   Lonjakan Dollar Karena Investor Bertaruh Pada Pengurangan Likuiditas Membuat Wall Street dan Nasdaq Terjatuh Dalam

Hamada said. “We still don’t know the depth of the impact from China.”

 

 

About Reza Aswin

Senior Fundamental Analyst. 20 tahun berkecimpung di dunia trading forex, komoditi, dan hingga kini aktif menjadi analis fundamental.

Check Also

Bank of Japan Keluar Dari Suku Bunga Negatif

Jakarta, 20 Maret 2024 By. Reza Aswin Apa yang terjadi di pasar Bank of Japan …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp Hubungi Kami